Seusai
memutuskan keluar dari bangku SMA di Cilacap, Jawa Tengah, pada 1983, ia
pulang ke Pangandaran dan mencoba berjualan aneka barang seperti baju,
bedcover, dan sebagainya.
Namun akhirnya ia
menemukan potensi Pangandaran, yaitu ikan. Dengan modal Rp 750 ribu
hasil penjualan perhiasan miliknya, ia mulai berjualan ikan dengan cara
membeli ikan di Tempat Pelelangan Ikan (TPI) dan menjualnya ke
restoran-restoran. Hari pertamanya ia hanya berhasil menjual 1 kg ikan.
Itupun ke restoran kenalannya.
Meski jalan
untuk menembus pintu restoran tak berjalan mulus, tak membuatnya mundur.
Ia terus mencoba lagi hari-hari berikutnya. Meski tak mudah, akhirnya
ia bia menguasai pasar Pangandaran setahun kemudian. Lalu ia mencoba
menjual ikan-ikan dari Pangandaran ke Jakarta dengan menyewa truk.
Berangkat jam tiga sore sampai di Jakarta tengah malam menjadi kegiatan
sehari-harinya.
Tapi dengan keuletan dan
kesabarannya, setahap demi setahap usahanya terus berkembang. Setahun
kemudian, dia berhasil menguasai pasar Cilacap. Tidak puas hanya
berbisnis ikan laut di satu daerah, Susi mulai melirik daerah
Pangandaran di pantai selatan Jawa Barat.
Ternyata,
di sana keberuntungan Susi datang. Usaha perikanannya maju pesat. Jika
semula dia hanya memperdagangkan ikan dan udang, maka Susi mulai
memasarkan komoditas yang lebih berorientasi ekspor, yaitu lobster.
Dia
membawa dagangannya sendiri ke Jakarta untuk ditawarkan ke berbagai
restoran seafood dan diekspor. Karena permintaan luar negeri sangat
besar, untuk menyediakan stok lobster, Susi harus berkeliling Indonesia
mencari sumber suplai lobster.
Masalah pun
timbul. Problem justru karena stok sangat banyak, tetapi transportasi,
terutama udara, sangat terbatas. Untuk mengirim dengan kapal laut
terlalu lama karena lobster bisa terancam busuk atau menurun
kualitasnya.
Pada saat itulah timbul ide Susi
lainnya untuk membeli sebuah pesawat. Christian von Strombeck, suaminya
yang kebetulan warga negara asing yang berprofesi sebagai pilot pesawat
carteran asal Jerman mendukungnya.
Ceritanya,
setelah menikah dengan pilot asal Jerman itu, Susi berangan-angan
mengangkut ikannya menggunakan pesawat. Angan-angan itu timbul karena
dengan menggunakan truk yang memakan waktu sembilan jam perjalanan,
ikan-ikannya mati sesampai di Jakarta. Itulah yang membuat harga ikannya
jatuh. Dengan pesawat cuma diperlukan satu jam sehingga harga ikannya
pasti tinggi karena lebih segar.
Tahun 2000,
Susi mencoba mengajukan pinjaman ke bank untuk merealisasikan rencana
itu. Namun rencananya itu ditertawakan pihak bank dan sudah tentu
pengajuan kreditnya ditolak. Baru pada tahun 2004, ada bank yang mau
mengabulkan kreditnya. Dari Bank Mandiri, ia mendapat pinjaman Rp 47
miliar yang ia gunakan untuk membuat landasan di Pangandaran dan membeli
dua pesawat Cessna.
Namun sebulan setelah
pengoperasian pesawatnya, terjadi bencana tsunami di Aceh. Naluri
kemanusiaannya terusik. Ia terbang ke Aceh untuk memberi bantuan.
Pesawat Susilah, pesawat pertama yang mendarat di Aceh setelah bencana
itu. Besoknya ia membawa barang-barang bantuan seperti beras, mi instan,
dan sebagainya. Susi dan pesawatnya pun berkutat di Aceh
mendistribusikan barang-barang bantuan.
Rencananya,
ia “hanya” memberi bantuan sarana angkutan gratis selama 2 minggu,
namun banyak LSM dalam dan luar negeri yang memintanya tetap di sana dan
mereka bersedia menyewa pesawat Susi. Dari sanalah lahir nama Susi Air
sebagai usaha penyewaan pesawat. Di sisi lain, alat transportasi itu
sangat membantunya meningkatkan produktivitas perdagangan ikannya. Nilai
jual komoditas nelayan di daerah juga naik.
“Nelayan
bisa mendapatkan nilai tambah. Misalnya saja, lobster di Pulau Mentawai
yang tadinya hanya dijual Rp 40.000 per kilo, setelah itu bisa
dinaikkan menjadi Rp 80.000 per kilo saat itu,” kata Susi dilansir Persda Network.
Jadi,
kebutuhan terhadap pesawat penumpang pun semakin meningkat seiring
dengan ekspor yang terus bertambah. Belakangan, pesawat yang tadinya
hanya untuk mengangkut barang dagangan laut, dia coba sewakan kepada
masyarakat yang ingin menumpang.
“Ternyata,
permintaan transportasi sangat besar karenanya kita pun mengembangkan
bisnis pesawat carter ini dan Susi Air,” ujar perempuan kelahiran
Pangandaran tahun 1965 ini.
Saat ini, Susi
Air memiliki 50 pesawat kecil, antara lain jenis Cessna Grand, Avanti,
dan Porter yang dioperasikan oleh 80 pilot. Sebanyak 26 pilot di
antaranya adalah pilot asing. Maskapai Susi Air saat ini beroperasi di
hampir semua daerah pelosok di Indonesia. “Yang penting kita tingkatkan
layanan agar pelanggan semakin suka pada kita,” ujarnya berfalsafah.
berbagai sumber.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar